Jumat, 13 Agustus 2010

Tips Agar Si Buyung Menghargai Pasangannya Kelak

Setiap wanita pasti sangat menidamkan pendamping yang dapat menghargai dan menghormatinya, namun sifat pria seperti itu tidaklah terbentuk begitu saja. Beberapa tips berikut dapat membentuk kepribadian anak lelaki lebih baik, dan memiliki sikap menghargai wanita dan sesamanya.

1.Contoh nyata sehari-hari
Anak adalah peniru cilik luar biasa. Karena itu terapkan pada anggota keluarga mencontohkan kebaikan, kehalusan dan penghormatan terhadp orang lain. Kalau masih ada sikap suka mebentak-bentak, kasar, bahkan kekerasan fisik, jangan harap anak akan tumbuh bebas dari sikap tersebut.

2.Latih kemandiriannya
Sayang pada anak bukan berarti memanjakannya dan membebaskan dari tugas. Ajari untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri agar kepribadiannya berkembang. Misalanya membereskan mainannya sendiri, mengajarkan cara menaruh piring ke watafel, menaruh sepatu pada tempatnya, dan sebagainya.

3.Libatkan dengan apa yang anda kerjakan
Untuk mengajari anak pekerjaan rumah, ajaklah ia memasak bersama khusus hari Minggu misalnya. Ibu yang mengiris bumbu, anak memotong sayuran, dan ayah yang menggoreng. Pemandangan sederhana itu akan diingatnya sampai dewasa. Kelak ia pun tak sungkan membantu pekerjaan istrinya.

4.Adilah pada anak
Orang tua kerap tak sadar melakukan diskriminasi pada anak. Misal menyruh kakak lelaki mengalah pada adik perempuannya dengan alasan adik masih kecil. Padahal itu direkam anak bahwa perempuan itu lebih lemah dan tak berdaya. Karenanya bersikaplah adil dengan mengubah pedekatan, misalnya, “kalau adik ingin mainan kakak, adik harus minta ijin dulu sama kakak ya. Kakak juga, tidak boleh pelit sama adik.”

5.Bermain dan berbaur
Jangan larang anak lelaki bermain bersama anak perempuan selama masih tahap normal dan tak berbahaya. Justru dengan berbaur akan timbul perasaan bahwa mereka sama karena dapat melakukan aktivitas yang sama. Permainan mewakili apa yang ada dalam pikirkan. Lakukan juga pendampingan agar anak mendapatkan arahan terutama jika melakukan suatu hal yang tidak benar.

Sumber asli: Majalah Wanita Kartini No. 2218, 15 S/D 29 Mei 2008, hal. 69.

Rabu, 11 Agustus 2010

Partisipasi perempuan; Tanggap terhadap Bencana

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "tanggap bencana"? seperti yang kita ketahui bahwa belakang ini negara kita mengalami cukup banyak bencana khususnya gempa Bumi, dimulai dari Aceh, Yogyakarta, Tasikmalaya, dan yang terakhir ini gempa di Sumatra Barat (Padang dan Padang Pariaman). Becana ini tentunya mengakibatkan banyak kerusakan fisik dan memakan banyak jiwa. Banyaknya bencana gempa tersebut tentu saja membuat kita harus terus mencoba beradaptasi dengan bencana. Seperti negera-negara gempa lainnya baik Jepang ataupun beberapa negara Eropa dan Amerika. Hal ini menyebabkan kita harus selalu tanggap terhadap bencana. Maksud tanggap bencana di sini adalah bukan hanya kita sempitkan dalam tanggap masalah pasca gempa, tapi juga dari pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Ini bukan dimaksudkan agar kita paranoid terhadap bencana, tapi semata-mata meningkatkan kewaspadaan kita terhadap bencana gempa tersebut.

Mengapa kita harus tanggap terhadap bencana? Tanggap terhadap bencana memungkinkan kita untuk mampu mengurangi korban jiwa. Karena ada yang mengatakan bahwa sebenarnya gempa itu tidak membunuh, tapi yang membunuh adalah bangunan yang tidak tahan terhadap gempa sehingga mengakibatkan orang akan terbunuh bila terdapat didalamnya. Walaupun itu masih dapat di perdebatkan. Tapi yang jelas akan banyak korban ketika masyarakat kita tidak mulai beradaptasi dalam bencana gempa tersebut dengan tanggap terhadap bencana. Sebab itulah sudah saatnya kita tanggap terhadap bencana gempa dengan misalnya membangun bagunan yang ramah terhadap bencana (tahan gempaa). Sudah saatnya mulai lebih giat mensosialisasikan masyarakat yang tanggap bencana. Agar masyarakat akan lebih reflektif terhadap bencana. Seperti masyarakat di negara-negara bencana lainnya.

Perempuan menjadi penting tanggap terhadap bencana khususnya gempa? Di negara berkembang seperti Indonesia kebanyakan perempuannya adalah sebagai ibu rumah tangga. Hal itu menjadi penting ketika kita membaca beberapa bencana gempa seperti di NAD dan Yogyakarta. Kebanyakaan yang menjadi korban adalah perempuan, mengapa demikin; hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya: pertama, bahwa konstruksi dan arsitektur kita kebayakan tidak ramah terhadap perempuan atau tidak berbasiskan gender sehingga hal ini menyebabkan perempuan sering menjadi korban ketika terjadi gempa karena akses rumah tidak fungsional terhadap mereka. Kedua, biasanya kebanyakan perempuan yang lebih sering di rumah dibandingkan laki-laki misalnya di desa-desa Jogja atau Aceh. Sehingga ketika bencana itu terjadi (misalnya) pada saat pagi atau sore ketika laki-laki berladang atau bertani maka saat terjadi bencana perempuan yang saat itu berada di rumah sering kali menjadi korban. Ketiga, ketika pasca gempa sering kali yang pertama bangkit untuk memulai hidup baru adalah perempun yang mengambil andil besar bahkan hal tersebut sering dikesampingkan. Mengapa demikian? Kita ketahui sendiri bahwa pasca bencana perempuan mau tidak mau mengikuti hasrat naluriahnya. Ia bergerak bersama-sama membangun dapur umum untuk memproses kembali hasil bantuan menjadi makan yang siap untuk dimakan oleh korban dan pengungsi bencana.
Partisipasi Perempuan tidak dapat di kesampingkan begitu saja dalam tanggap bencana? Melakukan manejemen tanggap bencana yang berbasiskan pada gender. Hal ini menjadi penting karena sudah seharusnya dalam keadaan yang kurang baik tersebut kerjasama antara laki-laki dan perempuan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologi. Sehingga harapanya kondisi pasca bencana gempa akan cepat pulih seperti sedia kala. Namun yang sering terjadi perempuan sering kali hanya dilibatkan sebagai proses non produktif (sebagai pelengkap), sedangakan sektor produktif dalam rangka membangun kondisi fisik pasca bencana seringkali terabaikan. Pada hal seharusnya pasca bencana perempun harus selalu di libatkan dalam pembagunan tesebut agar pebagunan fisik tersebut ramah gender. Sebab bila tidak, maka yang terjadi bukan tidak mungkin akan merugikan perempuan lagi bilamana terjadi bencana dikemudian hari.

Bagaimana sebaiknya partisipasi perempuan; tanggap terhadap bencana? Tanggap terhadap bencana sudah seharusnya kita pahami bersama baik laki-laki maupun perempuan. Namun tidak ada salahnya kita lebih mengafirmasi terhadap perempuan karena perempuanlah yang lebih sering menjadi korban terhadap bencana yang terjadi. Tetapi tidak bisa juga dipungkiri dengan adanya afirmasi tersebut maka mengandung konsekuensi partisipasi dan tanggung jawab lebih terhadap perempuan. Sehingga sudah seharusnya perempuan menjadi tonggak keluarga dalam tanggap terhadap bencana. Peran lebih strategis harus lebih ditingkatkan lagi dalam keikutsetaan untuk merevitalisasi pembagunan pasca gempa yang berbasis gender.

Akhirnya bencana memang selalu datang dengan tiba-tiba tanpa kita harapkan. Sehingga sudah seharunya sekarang negara kita ini telah mulai beradaptasi terhadap bencana khususnya gempa bumi yang datang tanpa bisa diprediksi. Dimana yang dapat kita lakukan hanyalah, kita harus menjadi lebih tanggap dan lebih waspada lagi terhadap kehadirannya. Bukan menjadikan kita menjadi paranoid terhadap bencana tersebut gempa misalnya. Namun yang tidak kalah pentingnya bagaimana kita mampu memanejemen tanggap bencana itu sehingga juga tidak melupakan wawasan gender didalamnya, sehingga tidak terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen penanganan penanggulangan bencana baik sebelum, saat dan sesuadah pada saat rehabilitasi.

Tipe Pola Hubungan Suami dan Isteri

Menurut Scanzoni (1981) hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4 macam pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior-junior partner, dan equal partner.

Pada pola perkawinan owner property, istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.Dalam pola perkawinan seperti ini berlaku norma :
1. Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
2. Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.
3. Istri harus melahirkan anak-anak yang akan membawa nama suami.
4. Istri harus mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami. Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga. Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus keluarga. Karena istri tergantung pada suami dalam hal pencarian nafkah, maka suami dianggap lebih mempunyai kuasa (wewenang). Kekuasaan suami dapat dikuatkan dengan adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada suami secara ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Istri mendapatkan pengakuan dari kerabat dan peer group berdasarkan suami. Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena ia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Istri juga bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami untuk mendapatkan hal ini dari istrinya. Bila suami ingin melakukan hubungan seksual, istri harus menurut meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin
mengunjungi kerabat atau tetangga, tetapi suami menginginkan ia ada di rumah, istri harus menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri tidak boleh memiliki kepentingan pribadi. Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga seakan-akan wanita tidak punya hak atas dirinya sendiri.

Pada pola perkawinan yang head-complement, istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Norma dalam perkawinan masih sama seperti dalam owner property, kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property, suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan sesuatu, dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan head-complement suami akan berkata, “Silakan kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya rasa itu tidak perlu.” Di sini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada di tangan suami, dengan mempertimbangkan keinginan istri sebagai pelengkapnya. Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi ekspresif, ada perubahan nilai di mana suami dan istri menjadi pacar dan teman. Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata-mata dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kebutuhan seksual dan anak-anak. Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling percaya, dan berbagai masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama-sama.

Pada pola perkawinan senior-junior partner, posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suami.
Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau karier suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri setelah karir suami sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan kariernya demi karir suaminya. Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri rela berkorban.

Pada pola perkawinan equal partner, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa pencari nafkah utama, artinya penghasilan istri bisa lebih tinggi dari suaminya. Dalam hubungan ini, alasan bekerja bagi wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.”
Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara suami istri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasaan masing-masing. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.

Dari beberapa tipe diatas, setiap pasangan berhak untuk menentukan pola hubungan yang akan digunakan dalam rumah tangganya dan tidak ada keharusan setiap pasangan untuk mengikuti pilihan seperti yang disampaikan diatas, namun tulisan ini sebatas untuk memberikan gambaran tipe pola hubungan yang umum dilakukan pasangan suami istri di dunia ini dan bukan menjadikan hal yang baku karena tidak menutup kemungkinan akan ada pengabungan dari beberapa tipe tersebut dalam membentuk pola hubungan setiap pasangan.